Mindset Generasi Produsen

Tuhan menempatkan Indonesia di lingkungan yang sangat seksi, khatulistiwa, di tengah lingkaran Bumi. Sepanjang tahun, wilayah ini tak pernah kehilangan sinar matahari. Ribuan spesies flora dan fauna menjamur di atas tanah yang subur, di antara ratusan gunung api yang sambung menyambung dari barat hingga timur. Di bawah perut buminya, yang telah mengalami serangkain proses geologi sejak jutaan tahun lalu, terkandung minyak bumi, gas alam, logam, dan aneka mineral berkelas tinggi. Di antara itu semua, di hamparan kepulauannya, terlahir ragam budaya dari ratusan suku bangsa.

Rasanyanya tak berlebihan, jika kita berharap negeri ini bisa menjelma menjadi negara mapan. Negara produsen yang berdaulat penuh atas seluruh kekayaannya. Negara yang sumberdaya alamnya, juga kreasi masyarakatnya, dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan hidup warga dunia. Alangkah bangganya para pendiri bangsa jika produk-produk Indonesia selalu ditunggu secara masal di pasar Asia, Afrika, Eropa, Australia, dan Amerika.

Namun kenyataannya, modal sumber daya alam saja tak cukup menjadi tiket sejahtera bagi bangsa Indonesia. Masih dibutuhkan sumber daya manusia mumpuni untuk mengelola kekayaan ini. Jika salah pengelolaannya, buruklah hasilnya. Dan ini yang sekarang terjadi di Indonesia. Alih-alih menjadi negara produsen, Indonesia malah bergelar negara konsumtif terbesar kedua di dunia, setingkat di bawah Singapura. Negeri ini, konon merupakan pasar terbesar bagi berbagai produk (terutama teknologi) mancanegara. Kehidupan sehari-hari tak lagi berpedoman pada kebutuhaan (need), tetapi pada keinginan (will). Tidaklah sulit menemukan bukti atas tuduhan ini. Hitung saja, berapa jumlah kendaraan (mobil/sepeda motor) yang digunakan masyarakat Indonesia? Berapa jumlah pengguna smartphone dan aneka variannya? Berapa total transaksi kartu kredit setiap tahunnya? Berapa ribu ton beras, daging, kedelai, dan garam yang diimpor? Berapa jumlah kelahiran lapangan kerja, berapa jumlah pencari kerja?!

Menghadapi mentalitas masyarakat yang kadung menjadi konsumtif, negara harus berpikir strategik, sebab saling menyalahkan hanya akan membuat perkara semakin rumit. Dalam situasi seperti ini, dunia pendidikan harus tampil ke depan. Karena mau tak mau, bidang inilah yang membidani lahirnya generasi demi generasi. Kualitas generasi sebuah bangsa berbanding lurus dengan kualitas pendidikannya. Pendidikanlah yang melahirkan generasi creator atau generasi user, produsen atau konsumen. Jika kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung konsumtif, berarti ada masalah dalam praktik pendidikannya. Karena tujuan pendidikan nasional jelas-jelas mengharapkan lahirnya generasi produktif, bukan konsumtif.

Mengubah mindset

Tema pembangunan pendidikan dalam Rencana Strategis Kemdikbud 2015-2019 adalah “daya saing regional”, dilanjutkan dengan “daya saing internasional” pada 2020-2024. Makna daya saing jelas menunjuk pada generasi produsen, bukan konsumen. Maka mentalitas konsumtif itu, melalui proses pendidikan, harus diubah dan diarahkan menuju mentalitas produktif. Dari mana memulainya?

Barangkali tepat bila perubahan itu di mulai dari hulu, dari mindset pendidikan itu sendiri: mindset lembaganya, dan mindset praktisi-praktisinya. Jika mindsetnya bisa diperbaiki, turunan-turunan teknisnya lebih mudah terkendali. Mindset adalah “sekumpulan kepercayaan atau cara berpikir yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang”. Mindset tak muncul begitu saja dalam diri seorang manusia, tetapi sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, kebiasaan-kebiasaan di sekitarnya, nilai-nilai yang berkembang dan dianut dalam waktu yang lama. Mindset memang abstrak. Tetapi kita bisa dengan mudah melihat gejala-gejalanya.

Usaha ke arah perubahan mindset tersebut sebenarnya sudah dimulai. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat misalnya, telah beberapa kali melaksanakan program Continous Propessional Developement for Teacher, bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Australia Selatan. Guru-guru Jawa Barat (SMP dan SMA) di Kirim ke kota Adelaide selama tiga pekan untuk mengamati langsung proses pendidikan (magang) di sekolah-sekolah sana. Harapannya sederhana, agar guru-guru itu merasakan suasana baru, memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru yang sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia. Siapa tahu mindsetnya tentang pendidikan—yang sudah melekat dan mengakar—bisa terurai dan memunculkan mindset baru yang akan sangat berguna dalam tugas mereka selanjutnya.   

Pada 2014 silam, ketika saya menjadi salah satu peserta magang itu, saya berusaha membandingkan pendidikan Indonesia dan Australia. Berdasarkan apa yang nampak di sekolah-sekolah mereka, dan apa yang saya ketahui tentang sekolah-sekolah di Indonesia, ada beberapa titik berat yang saya catat:

Di Indonesia, pendidikan itu “mentransfer ilmu pengatahuan”. Di Australia, pendidikan itu “membangun pemahaman akan pentingnya ilmu pengetahuan”.

Di Indonesia, pembelajaran itu “memasukkan data yang dianggap penting bagi siswa”. Di Australia, pembelajaran itu “memasukkan sistem yang dapat bekerja sendiri dalam mencari data yang dibutuhkannya”.

Di Indonesia, keberhasilan pembelajaran dinilai dengan “sejauh mana siswa mampu menyimpan dan mengingat data-data”. Di Australia, keberhasilan pembelajaran dinilai dengan “apa yang bisa dihasilkan siswa melalui sistem yang telah dimilikinya”.

Dari perbandingan sederhana itu kita bisa menerka, pendidikan Indonesia cenderung berorientasi data (data oriented), berbeda dengan pendidikan Australia yang berorientasi sistem (system oriented). Data yang terlalu banyak akan memenuhi memori, dan tanpa sistem yang memadai, banyak data yang kelak tak berguna sama sekali. Ujung-ujungnya, Indonesia melahirkan banyak generasi user, pemakai, konsumen. Sementara Australia, juga negara-negara lain dengan orientasi pendidikan yang sama, terus melahirkan generasi creator atau produsen. Oleh karena itu, jika memang kita menginginkan lahirnya generasi produsen, apa salahnya jika mempelajari mindset pendidikan mereka, dan menerapkannya dengan citarasa Indonesia.

Mengubah mindset bagaikan merombak pondasi sebuah bangunan. Susahnya bukan kepalang. Semakin permanen sebuah bangunan, semakin sulit perubahan dilakukan. Tetapi tak ada yang mustahil jika bangsa ini memiliki kehendak untuk berubah, untuk berbenah, meski semua itu harus dilakukan dengan “mengganggu” apa yang selama ini dianggap baku. Indonesia adalah negara paling multikultural di dunia, sehingga perubahan mindset atas nama bangsa akan jauh lebih besar tantangannya. Pendidikan di negara multikultural tidak boleh kaku, tetapi harus adaptif dengan berbagai nilai budaya dan kearifan lokalnya. Sasarannya, agar generasi-generasi Indonesia dapat tumbuh bersama menjadi para pemrakarsa, pencipta, sesuai warna-warni budayanya sendiri.

Pendidikan sejatinya menjadi “jembatan” yang mampu menghubungkan kekayaan geografis Indonesia dengan tujuan yang ingin dicapai melalui kekayaan itu. Pada jembatan inilah mindset produktif itu ditumbuhkan dan dipupuk agar anak-anak negeri tahu apa yang mesti dilakukannya di ujung jembatan sana. Lahirnya generasi bermental produsen menjadi bentuk rasa syukur bangsa ini atas karunia tak terhingga berupa limpahan sumberdaya. Sedangkan dominasi generasi berwatak konsumen barangkali bisa dianggap pengingkaran atau penyianyiaan kesempatan yang Tuhan berikan!***

*Dari catatan tahun 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *