Ketika kita terus berusaha menjadi coach, kita sedang belajar menjadi superior. Saat kita selalu nyaman menjadi coachee, kita sedang belajar menjadi inferior. Ketika kita mampu berbagi peran antara coach dan coachee, kita sedang belajar secara berimbang.
Coaching sebagai sebagai sebuah proses kolaborasi telah memainkan perannya sebagai solusi pembelajaran yang memiliki peluang keberhasilan yang menjanjikan. Proses ini bukan mendikte, bukan unjuk kepintaran, apalagi melakukan tindakan intimidatif dengan memanfaatkan kelemahan seorang pembelajar. Coaching, jika dilakukan dengan benar, tentulah menyenangkan. Melalui sejumlah pertanyaan kritis, seorang coachee distimulasi agar memiliki kepekaan terhadap persoalan yang sedang atau mungkin dihadapi. Saat kepekaan itu tumbuh, mereka belajar mengidentifikasi persoalan-persoalan, dan pada akhirnya mencari solusi sendiri atas persoalan-persoalan itu.
Hal ini berbeda dengan supervisi tradisional yang seringkali diwarnai dengan pernyataan-pernyataan: `ini salah, yang benar seperti ini. Jangan begitu, seharusnya begini. Wah, formatnya beda, ini format yang paling baru`!
Supervisi memang bisa tetap berjalan. Namun, seorang guru atau peserta didik hanya akan berusaha menyesuaikan tindakannya dengan apa yang diinginkan supervisor-nya. Mereka tidak dituntun untuk berpikir mendalam, dan hanya dituntut melakukan tindakan-tindakan teknikal. Satu-satunya motivasi yang muncul hanyalah keinginan agar supervisi itu cepat selesai. Tidak ada yang lain.
Di kelas, saya berusaha bertindak sesuai dengan pemahaman di atas. Mencoba menerapkan prinsip-prinsip coaching sesuai dengan kebutuhan dan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Saya menjadi coach, tapi dalam waktu yang bersamaan, saya juga menempatkan diri saya sebagai coachee. Peserta didik kadang-kadang menghadirkan persoalan-persoalan baru yang bukan saja menjadi tantangan bagi mereka untuk menyelesaikannya, tetapi juga mendorong saya untuk melakukan hal serupa. Suasana belajar menjadi dialogis dan dialektis.
Suatu ketika, saya yang guru Geografi, memeriksa projek peserta didik. Pada projek tersebut saya meminta mereka membuat deskripsi tentang suatu fenomena geografis di lingkungan sekitar sekolah. Hasilnya, ada beberapa orang yang nampaknya sulit membuat deskripsi dalam bentuk tulisan. Hasilnya berantakan. Saya kemudian mengajak mereka berdialog: mengajukan beberapa pertanyaan, menyimak jawaban, sambil sedikit-sedikit menggali apa sebenarnya yang menjadi potensi tersembunyi mereka. Ternyata, mereka lebih tertarik dan lebih mampu mengekspresikan pengamatannya dalam bentuk gambar. Dan benar, ketika kemudian diminta menyelesaikan projek lewat media gambar, hasilnya membahagiakan.
Dari pengalaman itu, saya mempersiapkan diri untuk menerima projek-projek pembelajaran lewat media yang beragam. Yang mampu menulis, nulis. Yang mau pake gambar, lakukan. Yang mau bikin video, silakan. Memang jadi agak ribet, hasilnya bermacam-macam. Tapi bukankah itu yang Kurikulum Merdeka harapkan? Dalam hal ini, saya menjadi coach yang membiarkan coachee tumbuh berdasarkan kekuatan potensi diri.
Beberapa sejawat, dalam kegiatan-kegiatan diskusi di kelompok belajar, memberikan tanggapan dan umpan balik. Pada umumnya mereka berpandangan positif dan menganggap bahwa pendekatan seperti ini merupakan hal baru yang barangkali bisa diujicoba.
Pada akhirnya, sebagai seorang guru, dan juga sebagai pribadi pembelajar, saya harus siap menjadi coach sekaligus siap menjadi coachee. Melalui coaching, transformasi keilmuan maupun pengalaman berlangsung dalam suasana penuh kesetaraan. Kadang saya memegang kemudi. Saya yang harus punya visi. Kadang saya duduk di kursi penumpang. Saya harus percaya kepada mereka yang duduk di depan. Pembelajaran akan indah jika dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan penuh kepercayaan.***
*Tulisan ini dibuat saat disuruh bikin tugas di Program Guru Penggerak Jawa Barat.