Berubah? Hayo, Lah! Catatan Implementasi Kurikulum Merdeka

Einstein pernah bilang, “kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda”.

Ungkapan itu barangkali layak kita perbincangkan dalam diskursus implementasi Kurikulum Merdeka. Karena seperti biasa, sebuah gelombang perubahan selalu diikuti dengan kehendak beradaptasi pada satu sisi, dan semisal resistensi pada sisi yang lain lagi. Maka Einstein menampar kita dengan kekuatan kata-katanya, yang jika sampaikan ulang dengan bahasa yang agak kasar, mungkin akan menjadi begini:

“Ah, kamu mah gila. Apa yang kamu lakukan hasilnya sudah bisa diduga. Begitu-begitu saja. Mengapa terus melakukannya”?!

Dalam konteks ini, kegilaan tersebut dapat dialamatkan bagi guru, sekolah, atau pun para birokrat pendidikan yang selama ini hidup enak di zona nyaman sehingga mereka malas berubah, malas berbenah, dan malas beradaptasi dengan suasana baru. Padahal di ujung sana, peluang keberhasilan pendidikan sebagai akibat dari impelementasi Kurikulum Merdeka terbuka selebar-lebarnya.

Mas Menteri Nadiem Makarim seringkali memberi penekanan dalam pidato-pidatonya tentang Kurikulum Merdeka, bahwa kurikulum ini, ingin mengubah administration culture (budaya administrasi)  menjadi learning culture (budaya belajar). Saya kira itu sudah benar, karena yang selama ini saya rasakan sebagai guru, porsi tugas administrasi itu segede gaban besarnya. Akibatnya, energi dan waktu untuk membangun learning culture banyak tersita untuk hal-hal yang kurang signifikan dampaknya.

Sebagai pengingat, ada beberapa poin yang menjadi ciri khas Kurikulum Merdeka, antara lain: 1). Pembelajaran disesuaikan dengan fase tumbuh-kembang peserta didik; 2). Tujuan pembelajaran diarahkan pada pencapaian kompetensi peserta didik dengan melaksanakan pembelajaran “mendalam” pada materi-materi esensial, bukan pembelajaran “alakadar” pada seluruh materi yang menjadi tuntutan; 3). Adanya suplemen pendidikan karakter dalam wujud Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Ciri khas di atas, jika mampu kita terjemahkan menjadi praktik-praktik pembelajaran yang konkret, tentu akan menghasilkan kualitas pembelajaran yang lebih baik. Kompetensi dan karakter peserta didik dibina sesuai fase mereka, dilaksanakan sesuai dengan waktu yang memang leluasa, didasari paradigma peserta didik sebagai pusat, bukan guru sebagai pusat. Jika semua ini mampu kita laksanakan, maka kita akan memiliki kualitas pendidikan yang setara dengan negara-negara lain yang lebih dahulu maju: peserta didik akan “tahu banyak tentang sedikit hal, bukan tahu sedikit tentang banyak hal”. Selama ini, kita memang mencetak generasi yang tahu sedikit tentang banyak hal, dan hal ini terbukti tak mampu mengantarkan negara kita menuju kemajuan.

Ini itu tentang Kurikulum Merdeka telah dituangkan dalam berbagai panduan yang seabgreg jumlahnya. Melalui Platform Merdeka Belajar misalnya, kita dapat mempelajari semuanya. Tinggal kemauan kita. Apakah kita berkehendak untuk mengikuti arus perubahan, atau resisten melalui segala pembenaran yang ujung-ujungnya jelas adalah kekalahan. Bukan hanya kekalahan kita, tetapi Indonesia!

Berdasarkan skor Programe for International Students Assesment (PISA) tahun 2022, Indonesia berada pada urutan ke 68 dari 81 negara peserta penilaian. Kita memang ketinggalan, dan kelemahan kurikulum pendidikan kita, suka tidak suka, menjadi alasan yang masuk akal.

Saya sendiri telah memutuskan untuk ikut arus zaman pendidikan. Berubah? Hayo, lah! Bagaimana dengan Anda? Jika kita memiliki pendirian yang sama, maka kita akan melakukannya juga bersama-sama.

If you want to go fast, go alone. But if you want to go far, go together. Dalam mengemban tugas, kita tentu tak sekadar ingin cepet-cepetan. Tapi kita ingin melangkah lebih jauh, menembus cakrawala pendidikan, memberikan apa yang kita mampu berikan dengan penuh keikhlasan. Jika semua itu mampu kita lakukan, bolehlah kiranya kita menganggap bahwa pekerjaan kita adalah sebuah pengabdian! Salam.***

Catatan:

Artikel opini itu saya tulis ketika disuruh bikin tugas di Platform Merdeka Mengajar/ PMM. Saya bagikan pada rekan-rekan guru untuk dibaca dan didiskusikan bersama. Setelah membaca, rekan-rekan guru memberikan umpan balik yang dapat dijadikan dasar apakah upaya saya membantu meyakinkan pentingnya kurikulum melalui media tulisan tersebut berhasil atau tidak. Kegiatan dilaksanakan pada Minggu ke dua Bulan Januari 2024. Haduh!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *