Konservasi Lempar Biji

Selalu terngiang sambutan Kang Iman Soleh saat membuka sebuah pentas drama di lapangan badminton, belakang Terminal Ledeng, belasan tahun silam: “jika tak bisa bermain drama, tanamlah pohon. Jika tak bisa menulis buku, tanamlah pohon. Jika tak bisa berpuisi, tanamlah pohon …”!

Ungkapan itu langsung nempel di hati. Bahkan terasa lebih efektif dari dua SKS mata kuliah konservasi yang dilakoni mahasiswa geografi.

Semua mengerti, pohon adalah oksigen buat nafas kita. Pohon menahan longsor dan banjir, menjaga sumber air, rumah aneka satwa, dan tentu saja menghasilkan makanan dan buah-buahan yang padat gizinya, paling baik untuk kesehatan manusia. Maka menanam pohon, sejauh ini, tetap menjadi usaha konservasi yang paling nyata.

Sejumlah kelompok pecinta alam dan aktivis lingkungan memiliki program kerja penghijauan. Banyak yang terealisasi, tetapi banyak juga yang kagak jadi-jadi. Soalnya sederhana saja: susah nyari bibitnya, bingung di mana menanamnya, takut nantinya tidak terpelihara seperti proyek-proyek penghijauan yang pada umumnya lebih mementingkan pidato dan upacara. Nasib sang pohon, ya gimana nanti saja.

Pada 2012, misalnya, di Desa Datarnangka Kecamatan Sagaranten Kabupaten Sukabumi, saya menyaksikan Kang Aher, Gubernur kala itu, menerima anugerah Rekor MURI atas program penanaman satu juta pohon yang dilakukan secara serempak di seluruh Jawa Barat. Kegiatan itu sangat meriah. Anak-anak menanam, pejabat menanam, masyarakat menanam. Bagaimana hasilnya sekarang? Tak sedikit pun terlihat jejak-jejak penghijauan!

Kang Emil meneruskan perjuangan. Awal 2020, Pak Gubernur mencanangkan Gerakan Tanam dan Pelihara Pohon (GTPP). Warga Jawa Barat kembali diajak menghijaukan daerahnya, menanam lima puluh juta pohon, terutama di lahan-lahan kritis yang terus meningkat jumlahnya. Kita tentu berharap agar ini semua tak hanya menjadi demonstrasi angka-angka, tetapi menjadi usaha nyata yang terus berlanjut, membudaya dari masa ke masa.

Kita yang masyarakat biasa, sebagai pribadi ataupun anggota organisasi, sejatinya berpeluang menjadi agen-agen konservasi. Tak usahlah menempuh cara-cara prosedural yang menuntut modal besar, carilah yang gratisan. Metode “konservasi lempar biji”, misalnya, siapapun pasti mampu melakukannya.

Yang suka makan buah-buahan, jangan buang bijinya, simpan di kantung yang mudah dibawa. Bila pergi ke pasar, mampirlah ke tukang buah, kumpulkan biji dari buah-buahan yang busuk atau rusak, biasanya numpuk di keranjang sampah. Jika suatu ketika bepergian dan melihat tempat-tempat yang sekiranya perlu dihijaukan, lemparkan secara sembarangan.

Dari sepuluh biji yang kita lempar, mungkin ada satu dua yang akan tumbuh menjadi pohon besar. Dari seratus biji yang kita lempar, barangkali ada sepuluh-duapuluh yang bisa bertahan. Dari seribu biji yang kita lempar, seratus-duaratus di antaranya berpeluang hidup sebagai pohon baru yang mampu mengembalikan keseimbangan alam. Semakin banyak yang ikut melempar, semakin menggembirakan, karena peluang keberhasilan jadi jauh lebih besar.

Barudak penggiat alam terbuka sangat mungkin mentradisikan metode ini dalam penjelajahan-penjelajahannya. Lemparkan biji-biji itu ke tengah hutan, ke bukit-bukit kapur yang gundul, ke tepian-tepian sungai yang gersang, ke padang-padang ilalang. Tumbuh atau tak tumbuh itu lain soal, yang penting satu ikhtiar telah ditunaikan.

Mengapa hutan masih perlu ditanami buah-buahan? Tentu karena banyak tipuan. Dari luar tampak rimbun, di dalamnya bolong-bolong. Satwa semisal primata seringkali kekurangan makanan. Mereka akhirnya turun menjarah kebun-kebun, bahkan tak jarang hingga ke permukiman warga di kaki-kaki gunung. Jika makanannya ada, mereka tak perlu kemana-mana, apalagi sampai bikin konflik dengan manusia. Ribet jadinya.

Bagaimana jika biji yang kita lempar tumbuh ditempat yang tak diinginkan, misalnya di lahan orang? Biarkan saja. Mungkin malah dipelihara. Jikapun tidak, ya kagak apa-apa juga. Menebang pohon itu mudah, hitungannya menit. Menanam dan menumbuhkannya yang susah, hitungannya bisa puluhan tahun. Jadi lempar saja dulu, jangan ragu-ragu.

Lahan di Jawa Barat tidak baik baik saja. Dinas Kehutanan mencatat ada 700-an ribu hektar lahan kritis yang selain tidak produktif, juga jadi sebab langganan banjir dan longsor bagi beberapa kota saat musih hujan tiba.  

Memulihkan fungsi lahan memang butuh waktu lama, tenaga ekstra, juga modal yang tak sedikit jumlahnya. Saatnya kita berpartisipasi, menjadi para pelempar biji. Memberi kemungkinan buat biji-biji yang hampir dimusnahkan untuk melanjutkan perannya dalam kehidupan.

Seperti main-main. Semoga hasilnya jadi bukan main!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *